Bhinneka Tunggal Ika, dan Maraknya Diskriminasi Identitas Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) di Era Milenial
“Ingat kita kepada pepatah orang tua, rukun agawe santosa, artinya jikalau kita bersatu, jikalau kita rukun, kita menjadi kuat!” ujar Ir. Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 20 Mei 1963. Kutipan singkat tersebut menggambarkan betapa berharapnya seorang Bapak Proklamator akan kerukunan negeri ini untuk saling menghargai perbedaan. Sayangnya, harapan tersebut perlahan sirna di masa milenial ini.
Benarkah demikian?
Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya. Terdapat bermacam-macam suku, adat, ras, dan agama sehingga dapat dikatakan sebagai negara yang multikultural. Beragam perbedaan tersebut lantas disatukan oleh semboyan negara yaitu “Bhinneka Tunggal Ika” yang bermakna berbeda-beda namun tetap satu. Kendati demikian, masih saja terjadi diskriminasi yang menyangkut perbedaan identitas sosial, terutama di media sosial. Diskriminasi yang terjadi bisa berupa ujaran rasial, tindakan anarkis terhadap etnis yang berbeda, menghina cara berpakaian orang, dan lain-lain.
Banyak konflik telah terjadi di Indonesia yang dilatarbelakangi oleh perbedaan identitas sosial seperti suku dan agama. Dikutip dari laman 99.co, terdapat 5 konflik agama terbesar yang terjadi di Indonesia, yaitu Konflik antarumat beragama di Aceh pada 2015, Konflik Poso pada tahun 2000, Konflik Tanjung Balai pada tahun 2016, Konflik Sampang pada tahun 2004, dan Konflik Persekutuan Gereja-gereja di Kabupaten Jayapura (PGGJ) baru-baru ini. Hal ini tentu bertentangan dengan nilai yang terkandung dalam Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu”.
Beberapa konflik tersebut merupakan contoh konflik yang dilatarbelakangi permasalahan agama. Jika ditambah dengan konflik yang diakibatkan oleh perbedaan identitas sosial seperti ras dan etnis, tentu saja jumlah konflik yang terjadi lebih banyak. Hal ini dapat menggambarkan rendahnya toleransi dan moderasi beragama, kurangnya rasa kebhinekaan dalam diri rakyat Indonesia. Tentu sangat miris jika membayangkan kejadian tersebut menimpa negara Indonesia yang selalu menjunjung tinggi semboyan negara “Bhinneka Tunggal Ika”. Hal ini bisa terjadi karena kurangnya rasa toleransi yang tertanam dalam diri masyarakat, dan paling rentan adalah generasi muda atau pelajar.
Generasi muda Indonesia rentan terhadap disintegrasi, intolerir, dan diskriminasi sesama bangsanya sendiri. Sebagai pengguna media sosial dengan intensitas tertinggi, tentu saja pelajar rawan terhadap tindakan-tindakan diskriminatif terhadap orang lain. Banyak pelajar yang tersugesti untuk melakukan tindakan diskriminatif yang mengacu pada diskriminasi SARA (Suku, Adat, Ras, dan Antargolongan). Aplikasi game online juga merupakan salah satu tempat yang rawan terjadinya ujaran rasial antar pemainnya, pelajar juga merupakan penyumbang angka tertinggi. Hal ini juga diperkuat dengan survei yang dimuat dalam laman tirto.id. Survei tersebut menyatakan bahwa 1 dari 4 anak di sekolah mengalami perundungan karena latar belakang agamanya.
Aceh merupakan salah satu provinsi yang rentan terjadi perilaku diskriminatif terhadap masyarakat yang berbeda agama. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Husni Mubarak dan Intan Dewi Keumala pada tahun 2020, masyarakat nonmuslim di Aceh rentan mengalami perlakuan diskriminatif baik secara langsung maupun tidak langsung.
Apa yang menyebabkan terjadinya diskriminasi SARA di Indonesia?
Terjadinya diskriminasi SARA dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, rendahnya kesadaran akan toleransi dan kebhinekaan kurangnya kesadaran untuk mengaplikasikan sikap toleransi ke dalam kehidupan sosial disinyalir menjadi penyebab kuat masih terjadinya diskriminasi tersebut. Hal ini juga diperkuat oleh survei yang dilakukan oleh Komnas HAM dan Litbang Kompas pada tahun 2018 mengenai perlunya meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap isu diskriminasi ras dan etnis. Lalu, masih berkembangnya etnosentrisme di kalangan masyarakat juga ikut berpengaruh. Etnosentris merupakan salah satu hal yang menjadi penghambat utama dalam proses menyatukan perbedaan-perbedaan yang ada. Sikap ini selalu berkembang di masyarakat, teralurkan menjadi sebuah siklus berulang yang terus terjadi. Etnosentris juga menjadi salah satu faktor disintegrasi yang sangat mempengaruhi terjadinya diskriminasi. Etnosentris juga merupakan salah satu faktor yang sering menyebabkan konflik antarsuku di Indonesia. Rentannya terjadi tindakan yang melecehkan SARA. Konflik, diskriminasi, dan tindakan yang melecehkan SARA rentan terjadi dalam kehidupan sehari-hari, terutama di dunia maya. Media sosial acapkali menjadi tempat konflik yang didasari oleh SARA. Hal ini tentu sangat berbahaya terhadap rasa toleransi dan kebhinekaan, terutama pada generasi muda. Ketiga hal tersebut sangat mempengaruhi intensitas terjadinya diskriminasi SARA. Belum lagi kurangnya keseriusan dalam penerapan pembelajaran mengenai pentingnya toleransi dan kebhinekaan juga menjadi salah satu unsur yang mendorong terjadinya diskriminasi yang berkenaan dengan SARA. Padahal, hal-hal tersebut jika dibiarkan akan menjadi faktor utama pemecah persatuan dan kesatuan bangsa, yang notabenenya merupakan mimpi buruk bagi berdirinya bangsa ini.
Untuk menekan angka diskriminasi SARA yang terus meningkat, diperlukan tindakan-tindakan yang mampu mencegah terjadinya diskriminasi SARA tersebut.
- Penerapan Budaya Hidup Toleransi di Sekolah
Penerapan budaya toleransi dan moderasi beragama sejak dini seperti misalnya di sekolah dinilai dapat memberikan dampak positif jangka panjang bagi kehidupan bangsa Indonesia. Sebenarnya, pendidikan mengenai multikultural ini telah diterapkan dan memiliki dasar hukum yang jelas. UU RI No 20 Tahun 2003 merupakan landasan hukum diselenggarakannya pendidikan multikultural di Indonesia dan telah dijalankan di setiap instansi pendidikan di seluruh Indonesia. Namun, pengaplikasian budaya toleransi ke dalam kehidupan sehari-hari masih perlu ditingkatkan. Jika dilihat sekilas, mungkin akan tampak seperti hal yang sangat sepele. Namun, ini dapat mempengaruhi secara keseluruhan. Terutama pada pembentukan perilaku toleransi di sekolah bagi generasi muda Indonesia struktur-struktur kemasyarakatan bangsa Indonesia yang erat dengan kemajemukan, mengingat bangsa Indonesia merupakan sebuah negara yang multikultural.
- Pengaplikasian Budaya Toleransi di Lingkungan Masyarakat
Lingkungan masyarakat juga berpengaruh dalam mewujudkan toleransi. Apalagi, dengan Negara Indonesia yang multikultural tentu toleransi sangat diperlukan. Masyarakat yang hidup toleransi dan saling menghargai perbedaan satu sama lain akan memberikan dampak positif terutama kepada generasi muda yang terbentuk sifat dan kesadaran yang tinggi akan pentingnya toleransi. Jika hal ini mampu dilakukan, tentu saja angka terjadinya diskriminasi SARA bisa ditekan.
Kedua tindakan tersebut perlu diaplikasikan ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia demi mewujudkan makna semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” dan cita-cita para pendiri bangsa.