Ketika Kepolosannya Digerogoti Dunia Maya
Oleh : Atiqah Yumna
Aroma karbol dan alkohol yang semerbak saling membaur, menyatu, dan merasuki hidung kala sepasang kaki ini melangkah menyusuri koridor-koridor. Terlihat beberapa orang mengenakan scrub suits itu berlalu lalang sedang mengemban tugasnya. Teriakan, jeritan, dan pekikan oleh penghuni-penghuni di dalamnya menjadi gemuruh yang berirama di bangunan itu. Bukanlah hal yang asing, gemuruh berirama itu sudah jadi makanan sehari-hari suster di Rumah Sakit Jiwa Aceh, Jalan Dr. Syarif Thayeb, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Aceh.
Langkah demi langkah, sampailah kami di depan pintu sebuah kamar. Kamar yang berbeda dari kamar-kamar lainnya karena kamar ini dihuni oleh seorang anak dua belas tahun. Notabenenya sebuah bangunan rumah sakit jiwa hanya dihuni oleh orang-orang yang memiliki gangguan kejiwaan. Jika dipikirkan kembali, tentunya keberadaan seorang anak ini di sini tidak pantas sama sekali. Ketika pintu kamar itu terbuka, terlihat seorang anak laki-laki yang ditemani ibunya tampak pucat dengan kaus hijau bergambar pesawat yang dikenakannya. “Mak, nanti jangan lupa beli HP baru yang abang pengen ya!”. Sepintas, ia tampak seperti remaja awal seusianya tanpa orang ketahui bahwa kehidupan alam bawah sadarnya begitu seram.
Kedatangannya ke rumah sakit jiwa tentunya bukan tanpa sebab. Pernahkah kalian mendengar seorang anak yang tega mengancam ibunya dengan menodongkan sebuah pisau lantaran tak diizinkan bermain game? Pernahkan kalian melihat seorang anak yang dengan brutal menghancurkan komputer milik kakaknya menggunakan sebuah parang atas alasan yang sama? Itulah yang dilakukan oleh seorang anak laki-laki sebut saja Eddy, kelahiran Sigli, 30 Juni 2009, yang baru menapaki tahun keduanya di Sekolah Menengah Pertama.
Eddy terlahir layaknya anak-anak pada umumnya. Baginya, bermain adalah hal yang paling mengasyikkan. Sepulangnya Eddy dari sekolah sampai azan magrib berkumandang, Eddy menghabiskan kesehariannya dengan bermain bola bersama teman-teman sepantarannya hingga letih. Paling ia menggunakan satu atau dua jam untuk mengistirahatkan tubuh penatnya dari bermain. Sampai suatu ketika, tahun 2020 merupakan tahun di mana kehidupan yang dijalani Eddy berubah total. Kini, torehan senyuman hasil manifestasi dunia mayanya membuat garis raut bibir seorang anak kecil tak lagi manis, malah tampak sadis. Perangai anak seusianya yang khalis bermutasi menjadi bengis dan anarkis. Seumpama orang yang diberikan anestesi, Eddy ‘mati rasa’ akan afeksi. Ia menjelma menjadi sosok yang ganas dan mengerikan.
Saat penulis memasuki ruangannya, Eddy dengan isak tangis sedang memohon, meminta gawai milik sang ibu sebab jemarinya yang telah lama tidak memencet layar sentuh. Ibu Eddy mengisahkan, sejak dicanangkannya kebijakan sistem sekolah daring oleh pemerintah sebagai upaya pencegahan penyebaran virus Covid-19 di masa pandemi, mau tak mau Eddy harus menghabiskan banyak waktunya dengan menatap layar gawai. Karena alasan social distancing pun, ia tak lagi bermain bersama teman-temannya di luar. Namun, malah menjadikan gawai sebagai pelariannya untuk bermain game online sampai kecanduan.
Anak-anak lain yang sedang gencar-gencarnya merajut cita-cita dengan semangat belajar, sangat berkontradiksi terhadap Eddy yang menghempaskan segala asa dengan main game tiap hari. Eddy bisa mencapai lima belas sampai enam belas jam lamanya dan bahkan tidak tidur ketika ia bermain game menggunakan gawainya. Bagaimana tidak, Eddy seperti sedang dalam pengaruh narkotika. Ia punya rasa ‘ketergantungan’ terhadap gawainya. Jika tidak diizinkan bermain game oleh ibunya, Eddy tanpa segan akan memaki, memberontak, memukul, menghancurkan barang-barang, hingga tak jarang Eddy mengancam untuk menghabiskan nyawa ibunya.
Dewasa ini, ternyata rumah sakit jiwa pun tidak hanya diisi oleh paruh baya dengan gangguan kejiwaannya. Tak hanya diisi pula oleh orang-orang galau yang tengah menghadapi quarter life crisis-nya, tetapi juga kalangan remaja hingga anak-anak. Seperti fakta yang terjadi di salah satu kecamatan yang ada di Jakarta Pusat, terdapat 98 anak yang kecanduan terhadap game online, sementara 15 di antaranya harus menjalani pemulihan psikologis dengan psikoterapi dari psiakiater rumah sakit jiwa.
Sejak Eddy kecanduan bermain game online, ia tak sekali dua kali mengancam membunuh ibunya, tetapi berkali-kali. Game dengan kategori peperangan yang dalamnya terdapat aksi membunuh, menembak, memukul, menyerang, dan menghajar menjadi atraksi yang dilihat rutin oleh Eddy pada gawainya. Game yang sering ia mainkan antara lain Grand Theft Auto, Free Fire, Ninja Ryuko, dan Mobile Legends. Eddy kerap kali seolah-olah berperilaku seperti dalam game yang biasa ia mainkan. Hal ini dikarenakan game dapat menjadi model perilaku cognitive form bagi anak dan menjadi bahan referensi di alam bawah sadarnya. Perilaku tersebut ditandai dengan adanya ketidakmampuan melibatkan perasaan, tidak dapat menghargai orang lain, dan mudah menyakiti orang lain. Sikap ini menjadi copy-an memori yang akan terendap dalam cognitive form-nya yang sewaktu-waktu dapat muncul dalam bentuk perilaku.
Pernah suatu ketika, Eddy meminta kakaknya untuk ditop upkan saldo pada game yang dimainkannya. Namun, sang kakak tak mau menurutinya sehingga Eddy terus memaksa kakaknya dengan cara memberontak. Hal ini pun memicu sang kakak untuk memarahinya. Tak lantas membuat Eddy tertegun. Karena emosinya yang tak tertahankan, Eddy malah membidas dan memusnahkan komputer milik kakaknya tersebut dengan brutal hingga berkeping-keping tanpa bentuk menggunakan parang yang ia ambil dari dapur rumahnya. Bagai hati yang tersakiti tak akan kembali seperti semula, komputer milik kakak Eddy yang bersisa kepingan-kepingan tak ada gunanya lagi. Kakak Eddy yang ikut tersulut emosi akhirnya mengambil sebuah balok kayu, mengancam akan mengakhiri hidup Eddy jika Eddy tak mampu mengganti rugi komputer milik kakaknya. Jika bukan karena ibu dari kedua saudara kandung ini meleraikannya hingga menangis meraung-raung, bukan tak mungkin akhir pertengkaran mereka adalah salah satu dari keduanya hanya tersisa nama.
Ada banyak hal mengerikan lain yang dilakukan oleh anak seumur Eddy. Misalnya, ia pernah menghancurkan televisi menggunakan palu. Tali skipping pun ia jadikan senjata dengan memutar-mutarkannya segala arah hingga ia menjatuhkan dan memecahkan segala furnitur bermaterial kaca di rumahnya. Sontak memicu keluarga Eddy membawanya ke rumah sakit jiwa.
Anita Safitri, S.Psi., perawat dan asisten psikiater anak dan remaja di Rumah Sakit Jiwa Aceh sekaligus ketua Duta Kesehatan Mental (DKM) Aceh turut menangani proses pemulihan Eddy. Dikisahkan oleh Anita, ketika pertama kali dibawa ke rumah sakit jiwa, Eddy tampak berekspresi datar dan tidak ada gairah hidup. “Waktu itu, dia kayak bingung, ekspresinya datar, waktu diajak ngomong nggak nyambung (inkoheren), sering loncatin satu topik ke topik lain, emosinya labil, mudah marah, perilakunya kasar, nggak bisa tidur juga”, pungkas Anita. Pada kondisi tersebut, Eddy pun kerap gagap ketika berbicara karena ia sendiri tidak yakin terhadap apa yang dilihatnya.
Secara ilmiah, gangguan yang dialami oleh Eddy ini disebabkan oleh adanya bagian otak yang rusak akibat adanya perilaku berulang secara terus-menerus, dalam hal ini, bermain game dalam jangka waktu yang sangat lama. Anita menambahkan, “Adiksi yang disebabkan oleh perilaku yang berulang-ulang membentuk cognitive form anak hingga otak bagian depan atau PFC (Pre Frontal Cortex) mengalami kerusakan. Otak bagian ini bekerja secara eksklusif dalam membedakan baik buruk. Jadi, ketika rusak, PFC ini sulit bekerja secara efisien sehingga dapat menganggu konsentrasi dan proses pikir. Dalam kondisi yang sudah seperti ini, anak pun akan bertindak sesuai dengan cognitive form yang telah terbentuk di otaknya”.
Kesulitan Anita dalam menangani kasus Eddy adalah sikap arogansinya yang menyebabkan Eddy bersikukuh bahwa ketergantungan terhadap gawai bukanlah sebuah masalah sehingga ia menolak untuk diberikan obat. Oleh karenanya, penanganan yang diberikan untuk Eddy dikolaborasikan dengan pendekatan dari hati ke hati. “Setelah proses farmakologi (obat-obatan), dilanjutkan dengan edukasi dan konseling untuk perbaikan insight,” ungkap Anita.
Peran orang tua tentunya merupakan variabel yang paling berpengaruh pada kasus seperti yang dialami oleh Eddy. Kebanyakan kasus anak dengan adiksi gawai terjadi pada keluarga yang memiliki tingkat kesibukan kedua orang tua yang sangat tinggi sehingga orang tua abai pada tugas utama terhadap pemenuhan kebutuhan pengasuhan anak-anak. “Ada yang miss di situ. Apakah dia mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari rumahnya, ataukah dia mendapatkan perundungan oleh teman-temannya di sekolah,” ujar Anita ketika ditanya apakah anak yang kecanduan game online semata-mata karena ulahnya sendiri. Ketika merasa dalam kondisi yang tidak nyaman, seorang anak pun tentunya akan mencari suatu hal untuk menghiburnya yang lama-kelamaan hal tersebut akan menjadi kebutuhan.
Seberapa besar pengaruh pola asuh orang tua terhadap gangguan kejiwaan yang dialami oleh Eddy? “Sangat besar. Eddy sendiri dibesarkan tunggal sama ibunya. Udah beberapa tahun, ayahnya Eddy udah tinggal di tempat terpisah dari Eddy,” terang Anita. Orang tua Eddy tidak dalam hubungan perceraian, tetapi yang dirasakan oleh Eddy ialah sosok ayahnya yang ada namun tiada. Anak yang hanya dibesarkan oleh seorang ibu, tentu haus akan peran dari sosok ayah. Walaupun ayah Eddy tetap memberikan perhatiannya secara virtual dan finansial, namun hal tersebut tidak akan pernah cukup.
Kontribusi orang tua dalam mengatasi anak yang kecanduan game dapat dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya memberikan pengawasan saat bermain game, memberikan batasan waktu agar anak tidak bermain game terus-terusan, tegas terhadap anak, dan nengajak anak untuk melakukan hal-hal positif seperti membantunya belajar atau mengajaknya bermain di taman.
Setiap orang tua tak dapat memilih dikaruniai anak dengan sifat seperti apa. Namun, setiap orang tua dapat memilih bagaimana mengasuh dan mendidiknya demi membangun karakter anak yang kelak dapat berguna bagi agama, nusa, dan bangsa. Pesan penulis untuk seluruh orang tua yang saat ini tengah mengemban kewajiban dalam mengasuh sang buah hati: Dalami karakteristik si anak. Kenali dan pahami emosi terdalamnya. Temani anak dan berikan perhatian yang terbaik untuknya. Jangan biarkan anak-anak kita jatuh untuk kesekian kalinya dalam pengaruh yang buruk. Karena orang tua, punya peran besar dalam mewujudkan generasi yang tangguh. INDONESIA SEHAT, INDONESIA HEBAT!!!