Start of a Never Ending Journey
Tidak terasa sudah 2 bulan aku di Amerika Serikat, sangat banyak sekali hal-hal yang sudah aku lewati, begitu banyak pengalaman-pengalaman baru yang aku rasakan. Berada di negeri orang yang memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan Indonesia sangatlah sulit untuk dijalani.
Banyak sekali pahit dan getir kehidupan yang harus aku rasakan disini. Harus membuka lembaran baru, jauh dari orangtua dan teman-teman dan menjalani kehidupan sendiri di tempat yang sangat asing.
Masih terbayangkan bagaimana wajah Papa, Mama, dan adikku saat mengantarku di bandara Soekarno-Hatta waktu itu. Pada hari itu, adalah hari yang sangat berat bagi kami. Dengan perasaan yang campur aduk aku harus meninggalkan semuanya dalam waktu yang sangat lama.
Sulit sekali rasanya melangkahkan kaki menjauh dari mereka. Terbesit di hatiku penyesalan dan tidak mau berangkat meninggalkan semuanya. Sulit sekali rasanya keluar dari zona nyaman yang sudah aku jalani bertahun-tahun.
Saat waktu keberangkatan tiba, saat itu juga mau tidak mau harus aku lepaskan semua yang ada di Indonesia dan memulai kehidupan baru di tempat yang sangat jauh. Banyak sekali penyesuaian yang harus aku jalani seorang diri disini.
Adaptasi, bukanlah suatu hal yang mudah. Berkenalan dengan orang-orang baru dengan menggunakan bahasa yang tidak biasanya kita gunakan di Indonesia. Perasaan sedih, galau, dan gelisah harus aku lalui demi masa depan yang aku mimpikan. Semua itu tergantikan dengan pengalaman yang luar biasa menakjubkan yang tidak akan aku dapatkan jika tidak berada disini.
Vermont, disinilah aku ditempatkan. Sebuah negara bagian Amerika Serikat yang berada di kawasan New England di Amerika Serikat Timur Laut. Dengan populasi penduduk yang tidak begitu banyak dan tidak memiliki garis pantai adalah hal yang sangat berbeda dengan Banda Aceh. Aku sampai di Vermont pada Summer Season (Musim Panas), tapi tetap saja suhu disini jauh lebih dingin dibandingkan Indonesia.
Pada musim panas, suhu tertinggi disini adalah 27 derajat celcius dan suhu terendahnya adalah 10 derajat celcius. Suhu tersebut sangat dingin bagiku yang sudah terbiasa tinggal di daerah pesisir pantai yang memiliki suhu yang sangat tinggi.
Saat ini Musim Panas sudah berlalu dan sudah memasuki awal Fall Season (Musim Gugur) dimana daun-daun di pohon berubah warna dari hijau menjadi kuning, oranye, pink, dan merah. Indah sekali pemandangan Musim Gugur disini. Setibanya Musim Gugur, suhu disini pun turun karena Musim Salju sudah dekat!
Vermont dikenal dengan negara bagian yang sangat dingin saat Musim Salju. Sekarang suhu yang harus aku hadapi sangat rendah, suhu tertingginya hanya 12 derajat celcius dan suhu terendah bisa sampai -2 derajat celcius. Aku sangat kesulitan dengan perubahan ini, sudah pakai baju enam lapis saja tetap kedinginan!
Di pagi hari, embun-embun sudah mulai membeku, terlihat di atas mobil butiran-butiran es dan aku juga mengeluarkan asap dari mulutku. Satu lagi perbedaan disini yang membuatku cukup bingung, mereka lebih sering menggunakan satuan Fahrenheit untuk mengukur suhu.
Aku dan keluargaku disini sedang bersiap mengumpulkan kayu yang akan digunakan untuk pemanas ruangan untuk Musim Dingin yang diperkirakan akan datang pada bulan November. Keluarga dan teman-temanku selalu bercanda dan memperingatkanku untuk bersiap-siap menghadapi musim dingin yang suhunya mencapai -20 derajat celcius. Beberapa minggu terakhir, akhirnya aku sudah bisa menyesuaikan tubuh dengan suhu disini.
Orang-orang disini juga sangat baik, mereka memberikanku baju dingin, kaos kaki, dan jaket mereka. Aku bersyukur sekali ditempatkan di Vermont. Orang disini sangat ramah dan begitu perhatian. Semua orang yang aku temui disini baik-baik banget! Mereka sering banget tanyain kabarku dan mereka juga bertanya apa yang membuat Indonesia sangat berbeda dengan Vermont. Tentu saja perbedaan suhu yang sangat signifikan dan ada satu lagi, makanan disini sangat berbeda dengan apa yang kita makan di Indonesia.
Beradaptasi dengan makanan adalah kesulitan keduaku disini. Tidak ada orang yang makan nasi tiga kali dalam sehari disini. Keluarga Amerika tidak terbiasa dengan nasi, bahkan harga beras disini termasuk mahal dibandingkan makanan lain.
Menu sarapan umum disini biasanya sangat ringan hanya sereal, susu atau salad. Lalu makan siang hanya burger, sandwich, atau pizza. Kalau makan malam, biasanya host momku masak pasta. Aku biasanya makan nasi hanya seminggu sekali karena aku mendapat giliran masak setiap malam kamis, saat itu lah aku akan masak makanan Indonesia. Aku udah banyak masak masakan Indonesia disini, seperti nasi goreng, soto, sop ayam goreng, dan indomie.
Sesekali juga keluargaku mengajakku untuk makan di restoran Asia disini, aku akan sangat bahagia pada saat itu karena aku bisa melihat nasi dimana-mana.
Susah sekali untuk bisa membuat lidah dan perutku terbiasa dengan makanan disini. Bagaimanapun, biasanya kita hanya memakan burger, pizza, sandwich dan pasta sebagai snack atau makanan sampingan saja dan disini aku harus membiasakan diri agar cukup dengan makanan itu saja.
Makanan non halal juga sangat banyak disini. Orang di Vermont terkenal dengan memasak semua makanan dengan ham atau bacon. Satu yang menjadi salut saya kepada host family. Mereka berkomitmen tidak memakan makanan non halal, selama saya disini. Dan selalu menjelaskan kepada saya makanan yang saya makan, apakah halal atau tidak.
Itulah kisah adaptasiku yang lumayan rumit selama 2 bulan disini.
Manchester Center, VT, Oct 11, 2022
Sheza Vanisha Kalila